“(Suatu saat) Nabi Musa bertanya kepada Allah, ”Bagaimanakah keadaan
penghuni surga yang paling rendah derajatnya?”. Allah menjawab, “Seorang
yang datang (ke surga) setelah seluruh penghuni surga dimasukkan ke
dalamnya, lantas dikatakan padanya, “Masuklah ke surga!”. “Bagaimana
mungkin aku masuk ke dalamnya wahai Rabbi, padahal seluruh penghuni
surga telah menempati tempatnya masing-masing dan mendapatkan bagian
mereka” jawabnya. Allah berfirman, “Relakah engkau jika diberi kekayaan
seperti raja-raja di dunia?”. “Saya rela wahai Rabbi” jawabnya. Allah
kembali berfirman, “Engkau akan Kukaruniai kekayaan seperti itu,
ditambah seperti itu lagi, ditambah seperti itu, ditambah seperti itu,
ditambah seperti itu dan ditambah seperti itu lagi”. Kelima kalinya
orang itu menyahut, “Aku rela dengan itu wahai Rabbi”. Allah kembali
berfirman, “Itulah bagianmu ditambah sepuluh kali lipat darinya, plus
semua yang engkau mauim serta apa yang indah di pandangan matamu”. Orang
tadi berkata, “Aku rela wahai Rabbi”…”. HR. Muslim (I/176 no 312) dari
al-Mughîrah bin Syu’bah radhiyallahu’anhu. Seorang muslim yang
mendengar hadits di atas atau yang semisal, ia akan semakin merindukan
untuk meraih kemenangan masuk ke surga Allah kelak. Bagaimana tidak?
Sedangkan orang yang paling rendah derajatnya di surga saja sedemikian
mewah kenikmatan yang akan didapatkan di surga, lantas bagaimana dengan
derajat yang di atasnya? Bagaimana pula dengan orang yang menempati
derajat tertinggi di surga? Pendek kata mereka akan mendapatkan
kenikmatan yang disebutkan oleh Allah dalam al-Qur’an,
Artinya: “Seseorang tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk
mereka; yaitu (bermacam-macam kenikmatan) yang menyedapkan pandangan
mata, sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan”. QS.
As-Sajdah: 17. Namun anehnya ternyata masih banyak di antara kaum
muslimin yang tidak ingin masuk surga, sebagaimana telah disinggung oleh
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam dalam haditsnya,
“Seluruh umatku akan masuk surga
kecuali yang enggan”. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah,
siapakah yang enggan (untuk masuk surga)?”. Beliau menjawab, “Barang
siapa yang taat padaku maka ia akan masuk surga, dan barang siapa yang
tidak mentaatiku berarti ia telah enggan (untuk masuk surga)”. HR.
Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu. Jadi tidak setiap yang
mendambakan surga, kelak akan mendapatkannya; karena surga memiliki
kunci untuk memasukinya; barang siapa yang berhasil meraihnya di dunia;
niscaya ia akan merasakan manisnya kenikmatan surga kelak di akhirat,
sebaliknya barang siapa yang gagal merengkuhnya; maka ia akan tenggelam
dalam kesengsaraan siksaan neraka. Kunci tersebut ada empat, yang secara ringkas adalah: 1.Ilmu. 2.Amal. 3.Dakwah. 4.Sabar. Empat kunci ini telah Allah subhanahu wa ta’ala isyaratkan dalam surat al-’Ashr:
Artinya: “Demi masa. Sesungguhnya manusia
benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang (1) beriman[1], (2)
beramal shalih, (3) saling nasehat menasehati dalam kebaikan dan (4)
saling nasehat menasehati dalam kesabaran”. QS. Al-’Ashr: 1-3.
Sedemikian agungnya surat ini, sampai-sampai Imam Syafi’i rahimahullah
berkata, “Seandainya Allah tidak menurunkan hujjah atas para hamba-Nya
melainkan hanya surat ini; niscaya itu telah cukup”[2]. Berikut penjabaran ringkas, masing-masing dari empat kunci tersebut di atas: 1. Kunci Pertama: Ilmu:
Yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ilmu agama, yaitu ilmu yang
berlandaskan al-Qur’an dan Hadits dengan pemahaman para sahabat Nabi
shallallahu’alaihiwasallam. Ilmu yang dibutuhkan oleh seorang insan
untuk menjalankan kewajiban-kewajiban agama, wajib hukumnya untuk dicari
oleh setiap muslim dan muslimah, sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah
shallallahu’alaihiwasallam dalam sabdanya,
“طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ” .
“Mencari ilmu hukumnya wajib atas setiap muslim”. HR. Ibnu Majah dari
Anas bin Mâlik ط, dan dinyatakan sahih oleh Syaikh al-Albâni dalam
tahqiqnya atas Misykâh al-Mashâbîh. Di antara beragam disiplin mata
ilmu agama, yang seharusnya mendapatkan prioritas pertama dan utama
untuk dipelajari dan didalami terlebih dahulu oleh setiap muslim adalah:
ilmu tauhid. Karena itulah pondasi Islam dan inti dakwah seluruh rasul
dan nabi. Allah ta’ala berfirman,
Artinya: “Dan telah Kami utus seorang rasul di setiap umat (untuk
menyerukan) sembahlah Allah semata dan jauhilah thaghut”. QS. An-Nahl:
36. 2. Kunci Kedua: Amal: ‘Perjalanan suci’ seorang hamba
setelah memiliki ilmu belum usai, namun masih ada ‘fase sakral’ yang
menantinya; yaitu mengamalkan ilmu yang telah ia miliki tersebut. Ilmu
hanyalah sarana yang mengantarkan kepada tujuan utama yaitu amal.
Demikianlah urutan yang ideal antara dua hal ini; ilmu dan amal. Sebelum
seorang beramal ia harus memiliki ilmu tentang amalan yang akan ia
kerjakan, begitupula jika kita telah memiliki ilmu, kita harus
mengamalkan ilmu tersebut. Seorang yang memiliki ilmu namun tidak
mengamalkannya akan dicap menyerupai orang-orang Yahudi, dan mereka
merupakan golongan yang dimurkai oleh Allah ta’ala, sebaliknya
orang-orang yang beramal namun tidak berlandaskan ilmu, mereka akan
dicap menyerupai orang-orang Nasrani, dan merupakan golongan yang
tersesat. Dua golongan ini Allah singgung dalam ayat terakhir surat
al-Fatihah:
Artinya: “Tunjukkanlah pada kami jalan yang lurus. Yaitu jalan golongan
yang engkau karuniai kenikmatan atas mereka, bukan (jalannya) golongan
yang dimurkai ataupun golongan yang tersesat“. QS. Al-Fatihah: 6-7. 3. Kunci Ketiga: Dakwah:
Setelah seorang hamba membekali dirinya dengan ilmu dan amal, dia
memiliki kewajiban untuk ‘melihat’ kanan dan kirinya, peduli terhadap
lingkungan sekitarnya. Kepedulian itu ia apresiasikan dengan bentuk
‘menularkan’ dan mendakwahkan ilmu yang telah ia raih dan ia amalkan
kepada orang lain. Inilah fase ketiga yang seharusnya dititi oleh
seorang muslim, setelah ia melewati dua fase di atas. Dia berusaha untuk
mengajarkan ilmu yang ia miliki kepada orang lain, terutama keluarganya
terlebih dahulu, dalam rangka meneladani metode dakwah Rasulullah
shallallahu’alaihiwasallam yang Allah ceritakan dalam firman-Nya,
“وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ”.
Artinya: “Dan berilah peringatan (terlebih dahulu) kepada keluarga terdekatmu”. QS. Asy-Syu’arâ’: 214.
Tidak sepantasnya seorang da’i menyibukkan dirinya untuk mendakwahi
orang lain di mana-mana lalu ‘menterlantarkan’ keluarganya sendiri;
sebab sebelum ia ‘mengurusi’ orang lain, ia memiliki kewajiban untuk
‘mengurusi’ keluarganya terlebih dahulu, sebagaimana yang dijelaskan
oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya,
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman jagalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka”. QS. At-Tahrîm: 6.
Dalam berdakwah terhadap keluarga maupun kepada orang lain, kita
dituntut untuk senantiasa mengedepankan sikap hikmah, dalam rangka
mengamalkan firman Allah ta’ala,
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan
pengajaran yang baik, serta berdebatlah dengan mereka dengan jalan yang
baik”. QS. An-Nahl: 125. Inilah kunci ketiga yang akan mengantarkan
seorang hamba ke surga. Namun seseorang tidak dibenarkan untuk langsung
meloncat ke fase ketiga ini (yakni dakwah) tanpa melalui dua fase
sebelumnya (yakni ilmu dan amal); karena jika demikian halnya ia akan
menjadi seorang yang sesat dan menyesatkan ataupun menjadi seorang yang
amat dibenci oleh Allah ta’ala. Mereka yang berdakwah tanpa ilmu,
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam sifati dalam sabdanya sebagai
orang yang sesat dan menyesatkan,
“إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ
الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ، وَلَكِنْ يَقْبِضُ
الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا؛
اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ
عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا” . “Sesungguhnya Allah tidak
melenyapkan ilmu (dari muka bumi) dengan cara mencabut ilmu tersebut
dari para hamba-Nya, namun Allah akan melenyapkan ilmu (dari muka bumi)
dengan meninggalnya para ulama; hingga jika tidak tersisa seorang
ulamapun, para manusia menjadikan orang-orang yang bodoh sebagai
panutan, mereka menjadi rujukan lalu berfatwa tanpa ilmu, sehingga sesat
dan menyesatkan“. HR. Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin ‘Amr
radhiyallahu’anhuma, dengan redaksi Bukhari. Sedangkan mereka yang berdakwah kemudian tidak mengamalkan apa yang didakwahkannya, Allah ta’ala cela dalam firman-Nya,
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan
sesuatu yang tidak kalian kerjakan? (Itu) sangatlah dibenci di sisi
Allah jika laian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan”. QS.
Ash-Shaff: 2-3. 4. Kunci Keempat: Sabar: Kesabaran dibutuhkan
oleh setiap muslim ketika ia mencari ilmu, mengamalkannya dan
mendakwahkannya; karena tiga fase ini susah dan berat. Proses
pencarian ilmu membutuhkan semangat ‘empat lima’ dan kesungguhan,
sebagaima disitir oleh Yahya bin Abi Katsir :, “Ilmu tidak akan didapat
dengan santai-santai”. Pengamalan ilmu juga membutuhkan kesabaran,
karena hal itu merupakan salah satu jalan yang utama yang mengantarkan
seorang hamba ke surga, dan jalan menuju ke surga diliputi dengan
hal-hal yang tidak disukai oleh nafsu. Dalam hadits shahih disebutkan,
“(Jalan menuju ke) surga diliputi dengan hal-hal yang dibenci (nafsu),
sedangkan (jalan menuju ke) neraka diliputi dengan hal-hal yang disukai
hawa nafsu”. HR. Muslim dari Anas bin Mâlik radhiyallahu’anhu. Tidak ketinggalan, dakwah juga membutuhkan kesabaran, karena itu merupakan jalan yang dititi para rasul dan nabi.
Sa’ad radhiyallahu’anhu bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah orang
yang paling berat cobaannya? Beliau shallallahu’alaihiwasallam menjawab,
“Para nabi lalu mereka yang memiliki keutamaan yang tinggi, lalu yang
di bawah mereka…”. HR. Tirmidzi dan beliau berkata, “Hasan shahih”,
demikian pula komentar Syaikh al-Albani. Inilah empat kunci masuk surga, semoga Allah ta’ala melimpahkan taufiq-Nya kepada kita semua untuk bisa meraihnya, amin. Wallahu ta’ala a’lam. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.
Daftar Pustaka: Al-Qur’an dan Terjemahannya. Kitab al-’Ilm, oleh al-’Utsaimîn. Misykâh al-Mashâbîh, karya at-Tibrîzî.. 4. Shahih Bukhari. 5. Shahih Muslim. 6. Sunan Ibn Mâjah. 7. Sunan Tirmîdzi. Tafsir al-Imam asy-Syafi’i, dihimpun oleh Dr. Ahmad bin Mushthafa al-Farrân.
[1] Di dalam ayat tersebut disebutkan bahwa hal pertama yang akan
menyelamatkan manusia dari kerugian adalah iman, lantas mengapa
disimpulkan darinya bahwa kunci pertama dari empat kunci masuk surga
adalah ilmu? Karena iman yang benar adalah iman yang dilandaskan di atas
ilmu yang benar, jadi yang menjadi asas dan pondasi adalah ilmu. Lihat:
Kitab al-’Ilm karya Syaikh Muhammad al-’Utsaimîn. [2] Tafsîr al-Imâm asy-Syâfi’i (III/1461). Sumber : Ustadz. Abdullah Zain
4
Kunci Untuk Masuk Surga -Blog tempat berbagi ilmu agama Islam yang
Shahih bermanhaj Nubuwah dengan pemahaman Salaful Ummah dan info menarik
lainya,Jasa Pembuatan Toko Online Termurah dan Berkualitas